Cites (Convention on International Trade in Endangered Species of wild Fauna and Flora ) adalah : konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar yang spesiesnya terancam punah. Tujuan dari Cites adalah melindungi tumbuhan dan satwa liar terhadap perdagangan internasional spesies tumbuhan dan satwa liar yang mengakibatkan kelestarian spesies tersebut terancam. Export-Import atau reexport harus mendapat izin otoritas pengelola dan rekomendasi keilmuan CITES dari negara tersebut.
Tata usaha pengambilan atau penangkapan dan peredaran Tumbuhan dan satwa liar berdasarkan SK Menhut No. 447/Kpts-II/2003 tanggal 31 Desember 2003
Apendiks I CITES
Jumlahnya sekitar 800 spesies yang terancam punah bila perdagangan tidak dihentikan. Perdagangan spesimen dari spesies yang termasuk Appendix I yang ditangkap di alam bebas adalah ilegal dan hanya diizinkan hanya dalam keadaan luar biasa, misalnya untuk penelitian, dan penangkaran. Satwa dan tumbuhan yang termasuk dalam daftar Apendiks I, namun merupakan hasil penangkaran atau budidaya dianggap sebagai spesimen dari Apendiks II dengan beberapa persyaratan. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan non-detriment finding berupa bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas. Setiap perdagangan spesies dalam Apendiks I memerlukan izin ekspor impor. Otoritas pengelola dari negara pengekspor diharuskan memeriksa izin impor yang dimiliki pedagang, dan memastikan negara pengimpor dapat memelihara spesimen tersebut dengan layak.
Satwa yang termasuk dalam appendix I misalnya; gorila (Gorilla gorilla), orang utan (Pongo pygmaeus), paus (Balaenoptera bonaerensis, B. borealis, B. edeni, B. musculus, B. physalus, Megaptera novaeangliae), harimau (Panthera tigris) dan sub spesiesnya, duyung (Dugong dugon), babirusa (Babyrousa babyrussa), beberapa burung kakatua (Cacatua goffini, C. haematuropygia, C. moluccensis, C. sulphurea, Probosciger atterimus), jalak bali (Leucopsar rothschildi), semua jenis penyu laut (Cheloniidae spp), komodo (Varanus komodoensis), ular piton morulus (Python morulus morulus), dan beberapa jenis tumbuhan seperti beberapa jenis sambung tulang, beberapa jenis aloe dan beberapa jenis kantung semar. Ada beberapa spesies yang masuk dalam Appendix I namun jika spesies tersebut berasal dari negara tertentu akan menjadi Appendix II, Appendix III atau bahkan Non Appendix misalnya gajah afrika (Elephas maximus africana) yang populasinya dari Botswana, Namibia, South Africa dan Zimbabwe termasuk dalam Appendix II, buaya muara (Crocodylus porosus) masuk dalam Appendix I kecuali populasi dari Indonesia, Australia dan papua New Guinea termasuk dalam Appendix II.
Apendiks II CITES
Jumlahnya sekitar 32.500 spesies. Spesies dalam Apendiks II tidak segera terancam kepunahan, tapi mungkin terancam punah bila tidak dimasukkan ke dalam daftar dan perdagangan terus berlanjut. Selain itu, Apendiks II juga berisi spesies yang terlihat mirip dan mudah keliru dengan spesies yang didaftar dalam Apendiks I. Otoritas pengelola dari negara pengekspor harus melaporkan bukti bahwa ekspor spesimen dari spesies tersebut tidak merugikan populasi di alam bebas.
Satwa yang masuk dalam Appendix II misalnya trenggiling (Manis javanica), serigala (Cuon alpinus), merak hijau (Pavo muticus), gelatik (Padda oryzifora), beo (Gracula religiosa), beberapa jenis kura-kura (Coura spp, Clemys insclupta, Callagur borneoensis, Heosemys depressa, H. grandis, H. leytensis, H. spinosa, Hieremys annandalii, Amyda cartileginea), ular pitas 9Pytas mucosus), beberapa ular kobra (Naja atra, N. Kaouthia, N. Naja, N. Sputatrix, Ophiophagus hannah), ular sanca batik (Python reticulatus), kerang raksasa (Tridacnidae spp), beberapa jenis koral, beberapa jenis anggrek (Orchidae) dan banyak lainnya.
Apendiks III CITES
Jumlah yang masuk dalam Appendix III sekitar 300 spesies. Spesies yang dimasukkan ke dalam Apendiks III adalah spesies yang dimasukkan ke dalam daftar setelah salah satu negara anggota meminta bantuan para pihak CITES dalam mengatur perdagangan suatu spesies. Spesies tidak terancam punah dan semua negara anggota CITES hanya boleh melakukan perdagangan dengan izin ekspor yang sesuai dan Surat Keterangan Asal (SKA) atau Certificate of Origin (COO). Yang termasuk dalam Appendix III misalnya spesies landak Hystrix cristata dari Ghana, walrus (Odobenus rosmarus) dari Canada, beberapa kuntul seperti Ardea goliath, Bubulcus ibis, Egretta garzetta dari Ghana.
Saat ini jumlah negara anggota CITES berjumlah 173 negara. Indonesia masuk menjadi anggota CITES yang ke 48 pada tanggal 28Desember 1978 . Negara yang saat ini paling akhir masuk adalah Oman yang menjadi anggota ke 173 pada tanggal 19 Maret 2008. Setiap anggota CITES mempunyai otorita keilmuan (Scientific Authority) dan otorita pengelola (Management Authority) nasional.
Otoritas keilmuan di Indonesia dipegang oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) dan otoritas pengelola dipegang oleh Ditjen PHKA Departemen Kehutanan. Otorita keilmuwan bertugas untuk memberikan pendapat mengenai dampak-dampak yang ditimbulkan oleh adanya suatu perdagangan terhadap kelangsungan jenis tersebut. Otorita pengelola mengawasi peredarannya, termasuk didalamnya perijinan, asal usul, tujuan perdagangan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan administrasi.
Setiap perdagangan baik impor, ekspor atau re-ekspor spesies yang termasuk dalam appendix CITES harus dilengkapi dengan dokumen CITES yang diterbitkan oleh Otorita Pengelola masing-masing negara. Apabila ekspor atau re-ekspor dilakukan oleh negara yang bukan anggota, maka dokumentasi harus diterbitkan oleh otorita yang setara dan berkompeten dalam negara tersebut yang pada pokoknya memenuhi persyaratan konvensi mengenai ijin sertifikat dan dapat diterima sebagai penggantinya oleh negara anggota CITES.
Apabila ada perdagangan spesimen Appendix CITES tanpa dilengkapi dokumen CITES, maka negara anggota harus mengambil tindakan yang sesuai untuk menegakkan ketentuan-ketentuan konvensi dan melarang perdagangan spesiemen yang melanggar konvensi. Tindakan tersebut berupa menghukum perdagangan atau pemilikan spesiemn tersebut atau keduanya serta melakukan penyitaan spesimen tersebut atau mengembalikannya ke negara asal. Dalam hal spesimen hidup disita, spesimen tersebut harus diserahkan kepada otorita pengelola dari negara yang disita dan otorita pengelola setelah berkonsultasi dengan negara pengekspor, harus mengembalikan spesimen sitaan tersebut dengan biaya dari negara tersebut atau diserahkan ke rescue center atau tempat lain dimana otorita pengelola mengaanggap tempat tersebut sesuai dan konsisten dengan tujuan konvensi dan otorita pengelola dapat mencari pendapat dari otorita keilmuan atau sekretariat CITES untuk mengambil keputusan hal apa yang akan dilakukan.
Berdasarkan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, tumbuhan dan satwa liar dibagi menjadi dua kelompok, yaitu tumbuhan dan satwa liar dilindungi dan tidak dilindungi. Sedangkan menurt CITES, penggolongannya dibagi berdasarkan appendix dan non appendix. Dalam hal ini, ada jenis tumbuhan dan satwa liar yang dilindungi di Indonesia namun tidak masuk appendix CITES dan ada pula yang jenis tidak dilindungi namun masuk dalam appendix CITES.
Kerjasama antar negara dalam melakukan pengawasan terhadap peredaran tumbuhan dan satwa liar merupakan suatu keuntungan bagi negara dengan sumberdaya alam hayati yang begitu besar seperti Indonesia. Banyak usaha penyelundupan tumbuhan dan satwa lair dari Indonesia yang bisa digagalkan di negara tujuan karena adanya kerjasama ini sehingga kerugian Indonesia yang ditimbulkan karena perdagangan tumbuhan dan satwa liar illegal dapat semakin ditekan.